Monday, October 8, 2007

Pembuat Kendi dan Pengrajin Emas


Bertahun-tahun yang lampau di salah sebuah kota , tinggal seorang pengrajin emas dan seorang pembuat kendi. Perajin emas itu seorang materialis dan pecinta harta. Oleh sebab itu, dia senantiasa berusaha dengan segala cara untuk mendapatkan harta dan kekayaan. Semua orang tahu bahwa dia tidak mengindahkan kejujuran. Sebaliknya, pembuat kendi adalah seorang mukmin dan pekerja keras. Dia dicintai oleh masyarakat. Setiap orang yang memiliki problema akan datang meminta bantuannya. Si perajin emas berfikir, mengapa warga kota begitu menyintai pembuat kendi, padahal dia tidak memiliki harta benda. Menurutnya, cinta dan kasih sayang bisa diperoleh lewat tipu daya dan makar. Karena itu timbul rasa dengki si pengrajin emas terhadap pembuat kendi. Pada salah satu hari, sewaktu petugas kota mengejar pencuri di pasar, si pengrajin emas melihat bahwa saat itu adalah momen yang tepat untuk menuntaskan dendamnya terhadap pembuat kendi. Oleh sebab itu, dia menunjuk si pembuat kendi dan berbohong dengan mengatakan: Saya melihat pencuri masuk ke rumah lelaki ini. Petugas dengan segera memasuki rumah pembuat kendi dan ketika dia tidak menemukan tanda-tanda adanya pencuri, ia menyeret paksa pembuat kendi ke penguasa dan memintanya untuk menyerahkan si pencuri. Pembuat kendi bersumpah bahwa dia tidak mengetahui apa-apa. Tapi ada daya, ia tetap dijebloskan ke penjara. Selang beberapa hari kemudian, pencuri tersebut tertangkap dan sekaligus membuktikan bahwa pembuat kendi tidak bersalah. Diapun dibebaskan. Sebaliknya, pengrajin emas yang berbohong mendapatkan ganjaran yang setimpal dengan perbuatannya. Setelah peristiwa itu, si pengrajin emas itu bukan hanya tidak menyesal atas tindakannya, tetapi malah semakin dibakar oleh api kedengkian terhadap pembuat kendi. Apalagi, dia menyaksikan bahwa si pembuat kendi semakin dicintai oleh masyarakat.

Dengki dan hasad sedemikian membakar jiwa dan hatinya sehingga dia mengambil keputusan yang berbahaya. Dia menyediakan racun dan memperalat seorang anak muda bodoh untuk meracun pembuat kendi dengan mengupahnya seratus keping emas. Hari yang ditetapkan pun tiba. Perajin emas menanti suara jerit tangis dari rumah pembuat kendi. Tetapi hal itu tidak terjadi. Sebaliknya pembuat kendi kelihatan sehat dan segar bugar seperti biasa.

Pengrajin emas merasa heran dan dengan segera dia mencari anak muda itu dan menyelidiki apa yang terjadi. Sadarlah dia bahwa bukan hanya si pembuat kendi itu tidak diracun, tetapi anak muda tersebut malah lari dari kota membawa seratus keping emas pemberiaannya. Ketika perajin emas ini mendengar berita itu, dia merasa sangat sedih. Begitu sedihnya sampai ia jatuh sakit. Tidak ada dokter yang bisa mengobatinya. Ya, karena memang tidak ada obat yang bisa menyembuhkan api dendam dan kedengkian. Lelaki pengrajin emas telah kehilangan segala-galanya dan dunia menjadi gelap baginya. Hal ini menyebabkan isteri dan anak-anaknya meninggalkannya. Berita kesendirian pengrajin emas yang sakit itu diketahui oleh tetangganya, si pembuat kendi yang baik hati. Dia berpikir, inilah waktunya untuk pergi mengunjungi pengrajin emas. Dia menyediakan makanan yang enak dan membawanya ke rumah perajin emas. Pengrajin emas, tidak dapat berkata apa-apa ketika melihat pembuat kendi. Pembuat kendi duduk di sisinya dan dengan lemah lembut menanyakan keadaan dirinya dan berkata: Aku datang karena memenuhi hakmu sebagai tetanggaku. Pengrajin emas menundukkan kepalanya karena malu. Pembuat kendi melanjutkan: Aku mengetahui segala apa yang berlaku pada masa lalu. Anak muda itu satu hari datang kepadaku dan memberitahu apa yang terjadi dan menyarankan supaya aku meninggalkan kota ini karena sudah tentu nyawa aku akan tidak selamat dari mu. Tetapi oleh karena aku berharap kepada rahmat dan karunia Ilahi, setiap hari aku berdoa untuk mu semoga dirimu dibebaskan dari rasa dengki dan hasad terhadapku. Kata-kata pembuat kendi menyebabkan pengrajin emas itu menangis. Pembuat kendi memegang tangan tetangganya dan berkata, “Sahabat ku, ketahuilah bahawa kedengkian laksana api yang membakar dan orang yang mula-mula dibakarnya adalah diri insan itu sendiri. Alangkah baiknya jika dalam masa yang pendek dan singkat di kehidupan dunia ini, kita saling kasih mengasihi sehingga kita meninggalkan nama yang baik. Tahukah engkau apakah rahasia kebaikanku di tengah masyarakat? Untuk mengetahui rahasia ini, aku ingin menyajikan sebuah kisah untuk mu. Pengrajin emas memasang telinganya untuk mendengar kisah tersebut dan dalam keadaan tersenyum yang tersungging di bibirnya, dengan penuh perhatian dia mendengarkan apa yang akan disampaikan oleh pembuat kendi. Si pembuat kendi berkata; Pada suatu hari Imam Sajad as, berkata kepada salah seorang sahabatnya bernama Zuhri yang begitu sedih memikirkan segala yang muncul dari sifat hasad pada dirinya. Beliau berkata: “Wahai Zuhri, apakah salahnya jika engkau menganggap orang lain sama seperti saudara dan keluargamu sendiri, orang yang tua sebagai bapakmu, anak-anak sebagai anakmu dan orang yang sebayamu seperti saudaramu sendiri. Ketika dalam keadaan begini, bagaimana mungkin engkau berbuat zalim kepada orang lain? Janganlah engkau lupa pada hal ini bahwa orang lebih menyayangi siapa yang berbuat baik kepada orang lain. Jika metode yang begini engku teruskan dalam hidupmu, dunia akan menjadi tempat yang membahagiakanmu dan engkau akan mempunyai banyak kawan.

Kata-kata pembuat kendi itu sampai disini. Pengrajin emas berpikir jauh dan lahirlah rasa penyesalan di wajahnya. Dengan suara yang bergetar, dia meminta maaf atas segala yang terjadi di masa lalu. Kepada Tuhan dia berjanji bahwa selepas ini dia akan menggantikan rasa dengki yang memenuhi hatinya dengan kasih sayang dan persahabatan kepada orang lain.

warkah buat Ibu..

Mak.....
Terlalu bosan rasanya duduk membilang hari.....

Dah hampir sepuluh bulan mak pergi,

Rasanya baru semalam mak peluk kiter kan

sejuk syahdu masih terasa lagi nih....

Mak tau tak.....

itu lah pertama kali mak peluk anak mak yang nakal ni sejak kiter dewasa.....

dan itu juga terakhir kali nya.

Emmmm...rupanya mak dah tau mak nak pergi jauh.....

nak tinggal kan anak2 mak..... nak tinggal kan dunia fana ni.....

mak macam dan sedia.....

Seminggu sebelum tu.....mak dah menganyam tikar mengkuang 3 helai.....

Akak kata sampai ke pagi mak anyam tikar tuu.....

tanpa rasa mengantuk, tanpa rasa letih..... kakak pun rasa hairan.....

mak tak penah buat gitu..... pastu mak pasang radio kecil di sebelah mak.....

tapi mak seolah2 tak sedar bahawa rancangan radio tu siaran diam .....

kengkadang siaran indonesia ...mak terus tekun menganyam...

Rupanya tikar yang telah mak siapkan tu di gunakan untuk mengiringi

mak ke kuburan...

Pastu mak sapu sampah sekeliling rumah bersih2....

pastu mak jemur karpet-karpet. ..

pastu mak ubahkan sofa ke tempat lain..mak biarkan ruang tu kosong..

rupanya kat situ jenazah mak diletakkan..

paling menarik sekali mak bgtau kat maner sume duit dan barang kemas
mak..

ada kat dalam almari.....

ada kat dalam dalam beg.....

ada dalam ASB.....

ada kat dalam Tabung Haji..

mak cakap tak berapa cukup lagi....

ada kat dalam gulung tikar.....

masa tu mak perasan takk..??

kiter gelak sakan bila mak bgtau duit dalam gulung tikar...kiter

kata mak ni memang pesenn lama laaa...

mak cuma gelak jer...

eeemmm..bahagiaa nya saat ituu..

Mak.....

Hari tu hari sabtu 18/08/1999 pukul 3 petang mak tiba2 s akit perut.....
bila malam tu kiter sampai dari KL.....mak dah dalam kesakitan.
Akak dan abang kat kampong semua dah pujuk.....

mak tetap takmau pi hospital.... .

dan cuma tinggal giliran kiter sahaja yang belum pujuk...
Mak kata mak takmau duduk dalam hospital.... .

tapi kiter berkeras juga pujukk..

nanti di hospital ada doktor...ada ubat untuk mak..

kat rumah kami hanya mampu sapu minyak dan urut jer..

Mak tetap tak bersetuju... ..mak memang degil...

tak salah, anak mak yang ni pon mengikut perangai mak tu..

Tapi akhirnya bila melihat keadaan mak makin teruk....

mak sakit perut sampai nak sentuh perut mak pon sakit kami adik
beradik sepakat hantar juga mak ke hospital.... .

Mak.....

amponkan kami semua...

kami nak mak sehat...

kami sayang mak...

kami tak mau mak sakit...

kami terpaksa juga hantar mak ke hospital....

ampon kan kami yer mak....

Mak.....

Malam itu abang bawa mak k e hospital dan itu lah pertama dan

terakhir kali mak naik kereta kiter...

Masih terbayang betapa ceria dan gembiranya mak, kiter kata nak beli kereta....
Mak asyik tanya ajer..cukup ker duitt..

kiter jawab pula...kalau tak cukup, mak kan banyak duit... mak gelak ajerr.....

Lepas tu bila kereta kiter sampai.....mak buat kenduri kesyukuran.. ...

Dan kiter masih ingat lagi...bila kiter eksiden terlanggar kelinn naik motor.....

Punya la kiter takut...kiter warning kakak kiter jangan sesekali bgtau kat

mak.....

Bila balik sahaja kampong....kiter cepat-cepat simpan keta dalam garaj.....
Tapi mak perasan juga bumper depan kemek...mak tanya kenapa...?

Selamba jerr kiter jawab terlangar pokok bunga.....

Mak....tujuan kiter menipu tu supaya mak tak risau...

Maafkan kiter kerana sampai mak pergi mak tak tau hal sebenar...

mak, kiter menipu mak kan ...ampon kan kiter....

Mak.....

Jam 4.30 pa gi 19/08 /2006

Bila tiba aja kat hospital.... nurse tengah balut mak dengan kain putih.....

mak mesti nampak kiter jatuh terduduk di lantai hospital...
Mesti mak nampak abang cium dahi mak.....

Mesti mak nampak akak baca doa untuk mak....

Mesti mak nampak adik terduduk kat kerusi kat sudut itu...

mesti mak nampak semua tu kann...kann. .kannn

Mak tau tak....

Pagi tu balik dari hospital jam 5.20 pagi kiter mamandu dalam keadaan separuh sedar...

Adik kat sebelah diam melayan perasann...

Kenangan bersama mak berputar dalam kepala ini...

jalan di depan terasa makin kelam.....

airmata dah tak mampu di tahan....

Masa tu seandainya apa-apa terjadi di jalan itu kiter rela...

Namun alhamdulillah akhirnya kiter sampai juga...
di sebab kan pagi masih awal, jadi jalan tu lenggang..kosong. ...sekosong hati ini.....
Sepanjang perjalanan terasa kedinginan subuh itu lain benar

suasananya.. ... terasa syahdu dan s ayu gitu...dinginnnn. ...

Mak.....

Kiter masih ingat lagi...

Kiter baca AlQuran kat tepi mak temankan mak...

Jam 11.00 pagi mak di mandi kan ....

Anak2 mak yang pangku masa mak mandi....

Mak mesti rasa betapa lembut nya kami mengosok seluruh tubuh mak.....

Kiter gosok kaki mak perlahan lahan.....

Mak perasan tak...?

Makcik yang mandikan mak tu pujuk kiter.....

Dia kata..." dikk...jangan nangis...kalau sayang mak jangan buat

gitu...jangan nangis ya.."

Bila makcik tu kata gitu...

lagi laaaa laju airmata ni..tapi kiter kawal supaya tak menitik atas mak....

Mak.....

Sampai takat ini surat ni kiter tulis..... kiter nangis ni.....

Ni kat dlm bilik...baru pukul 4.00 pagi.... Takder orang yang bangun lagi.....

kiter dengar nasyid tajuk "anak soleh" kiter sedih...kiter rindu kat mak..!

Takpa la.....nanti bila kita selesai sembanyang subuh, kiter baca yassin untuk mak...
mak tunggu ya...!

Mak..

Sebelum muka mak di tutup buat selamanya... .

Semua anak2 mak mengelilingi mak...menatap wajah mak buat kali terakhir....

Semua orang kata mak seolah2 senyum aja...
Mak rasa tak....masa tu kiter sentuh dahi mak....

kiter rasa sejukkkk sangat dahi makk.....

Kiter tak mampu nak cium mak...kiter tak daya....

kiter tuliskan kalimah tauhid kat dahi mak dengan air mawar...

Airmata kiter tak boleh tahan....

Mak mesti ingat kan yang anak mak ni jadi imam solat jenazah untuk mak...
tapi kite suruh tok imam bacakan doa sebab kite sebak....

Jam 12 tengahari mak diusung keluar dari rumah....

Akak pula dah terkulai dlm pelukan makcik...

badan akak terasa panas...

makk...anak mak yang seorang tu demam....

Mak tauu...cuma akak sorang saja anak mak yang tak mengiringi mak ke tanah perkuburan.. .
Mak.....

Hari2 ku lalui tanpa kewujudan mak lagi...

Begitu terasa kehilangan mak...boleh kata setiap malam selepas

maghrib anak mak ini berendam airmata...

Dan sampai satu tahap....masa tu malam jumaat selepas maghrib...

Selepas kiter baca yassin ngan kawan-kawan. ...

entah kenapa biler kat bilik kiter keluarkan gambar2 mak pastu apa lagi...
semakin kiter tenung terasa semakin sayu...tangisan tak dapat dibendung...

Mak tauu...kiter cuba bertahan... memujuk diri sendiri tapi tak juga reda...

Kiter rasa nak telefon mak... nak cakap dengan mak....

anak mak yang ni dah tak betul kan ..????

Dan akhirnya dalam sedu sedan itu kiter telefon kampong...
Kiter cakap dengan kakak..kiter nangis lagi... Puas la kakak memujuk kiter...

Akak kata..." tak baik laa nangis aje..doa lah untuk mak..nanti kalau
gini ajer mak yang susah kat sana .."

Dan akhirnya akak juga nangis..... Agaknya mak nampak adegan tu...

sebab malam jumaat kata orang roh balik rumahh... mengharap sedekah da ri anak2 nya...
Mak tau tak...di saat itu kerinduan terasa menusuk sehingga ke hulu hati...
rasa nyilu sangat.... menusuk-nusuk sehingga terasa begitu sakit dalam dada ni....
Sampai sekarang bila kerinduan itu menjelma...hanya sedekah al-fatihah kiter berikan.....

Mak....

cukup la sampai sini dulu....

kawan kiter dah ketuk pintu bilik tu.... kejap lagi kami nak pergi solat subuh kat masjid...

selalunya, kiter yang bawak mak naik motor kan ...
kali ni kiter jalan kaki dengan kawan pulak... esok kiter ingat nak tulis surat kat ayah pula....

Mula2 kiter tak tau nak hantar mana surat nih...
pastu kawan kiter bgtau...simpan je buat kenangan..

Kiter cuma tau alamat ni aje... Takper yer mak...kiter kasi orang lain baca...

Kiter stop dulu...sebab kawan kiter dah lama tunggu tu...

akhir kata untuk mak, I LOVE YOU SO MUCH dan jutaan terima kasih

kerana membesarkan kiter... memberi seluruh kasih sayang dari kecil sampai masuk sekolah.. sampai masuk unibesiti..
sampai kiter boleh rase naik kapal terbang... boleh rasa duduk kat negara orang...
sampai akhir hayat ini jasa mak tak akan mampu kiter balas..

Sekian terima kasih.

Yang Benar

Anak mak yang dah tak degil



p/s Bagi yang ada emak , tunjukkan lah kasih sayang anda sementara ada sedikit masa lagiii.....

Tuesday, September 4, 2007

Aku tinggalkan cinta kerana Dia

Moga di kurnia hidayah dan qudrat untuk ikut akan hidayah yang di kurnia.

"Apa kabar iman kita sekarang?"

Kisah ini datang dari lubuk hati saya sendiri, apa yang saya rasa dan apa yang saya alami sendiri. Saya tidak bermaksud untuk mengeluh apatah lagi mengingkar apa yang telah Allah s.w.t tetapkan kepada saya dan kita semua orang yang beriman denganNya. Kisah ini saya khabarkan agar apa yang saya lalui tidak berlalu begitu saja tanpa saya kongsi dan tanpa saya rekodkan sebagai panduan bagi diri saya sendiri dan juga pada saudara saya sesama Islam untuk bekalan hari mendatang.

Saya sama seperti orang lain, punya keinginan untuk menyayangi dan disayangi. Walau bagaimanapun, tidak mudah bagi saya untuk jatuh hati pada seorang wanita. Saya tidak mencari seorang wanita untuk dijadikan kekasih, tetapi saya mencari seorang teman pendamping hidup saya hingga ke akhir hayat saya. Seorang yang boleh mengingatkan saya kiranya saya terlupa dan yang paling penting wanita yang amat saya percayai untuk mendidik anak-anak saya kelak dan generasi yang akan lahir daripada keluarga kami nanti. Untuk itu, sejak di bangku sekolah lagi saya telah letakkan beberapa syarat bagi seorang wanita untuk hadir dalam hidup
saya dan dialah orangnya.

Dalam masa beberapa bulan saya belajar di sebuah pusat pengajian tinggi di Petaling Jaya, banyak perkara yang telah saya pelajari. Yang paling penting buat saya ialah, bagaimana saya mula mengenali wanita-wanita dalam hidup saya kerana saya sejak dari sekolah rendah belum pernah bergaul secara langsung dengan seorang wanita pun dan saya amat peka terhadap larangan pergaulan antara lelaki dan wanita kerana saya bersekolah di sebuah sekolah menengah agama lelaki berasrama penuh. Lantaran itu, saya tidak pernah punya hati untuk memberi cinta atau menerima cinta walaupun peluang itu hadir beberapa kali.

Saya mula mengenali si dia apabila kami sama-sama terpilih untuk mengendalikan sebuah organisasi penting di tempat kami belajar. Ditakdirkan Allah s.w.t, dia menjadi pembantu saya. Dari situlah perkenalan kami bermula. Dia seperti yang telah saya ceritakan,bertudung labuh dan sentiasa mengambil berat tentang auratnya terutama stokin kaki dan tangannya. Itulah perkara pertama yang membuatkan saya tertarik padanya. Dia amat berhati-hati dalam mengatur bibir bicaranya, bersopan-santun dalam mengatur langkahnya, wajah yang sentiasa berseri dengan iman dan senyuman dan tidak pernah ke mana-mana tanpa berteman. Suaranya amat sukar kedengaran dalam mesyuarat kerana dia hanya bersuara ketika suaranya diperlukan dan tidak sebelum itu. Saya melihat dia sebagai seorang mukminah solehah yang amat menjaga peribadinya dan maruah dirinya. Saya tidak pernah bercakap-cakap dengannya kecuali dia
punya teman disisi dan atas urusan rasmi tanpa dipanjang-panjangkan. Saya seorang yang amat kuat bersembang dan sentiasa punya modal untuk berbual-bual seperti kata teman saya, tetapi dengan dia saya menjadi amat pemalu dan amat menjaga. Bagi saya, itulah wajah sebenar seorang wanita solehah. Dia mampu mengingatkan orang lain dengan hanya menjadi dirinya, tanpa perlu berkata-kata walaupun sepatah.

Pada hari terakhir saya di sana, saya punya tugas terakhir yang perlu saya selesaikan sebelum saya melepaskan posisi saya dan semua itu melibatkan dia. Sebaik sahaja semua kerja yang terbengkalai itu siap,saya mengambil peluang untuk berbual-bual dengan dia. Saya bertanya perihal keluarga dan apa yang dia rasa bertugas di samping saya untuk waktu yang amat sekejap itu. Alhamdulillah dia memberikan respon yang baik dan dari situlah saya mengenali dengan lebih dalam siapa sebenarnya pembantu saya ini. Namun, apa yang memang boleh saya nampak dengan jelas, dia amat pemalu dan dia amat kekok semasa bercakap dengan saya. Selepas itu barulah saya tahu, sayalah lelaki pertama yang pernah berbual-bual dengan dia bukan atas urusan rasmi sebegitu. Di situlah saya mula menyimpan perasaan, tapi tidak pernah saya zahirkan sehinggalah saya berada jauh beribu batu daripadanya.

Semasa saya berada di Jordan, saya menghubunginya kembali dan menyatakan hasrat saya secara halus agar dia tidak terkejut. Alhamdulillah, dia menerima dengan baik dan hubungan kami berjalan lancar selama empat bulan sebelum saya balik bercuti ke Malaysia.
Kadang-kadang saya terlalai dalam menjaga hubungan kami dan dialah yang mengingatkan. Dialah yang meminta agar kami menghadkan mesej-mesej kami agar tidak terlalu kerap. Semua itu menguatkan hubungan kami dan bagi saya dialah teman hidup yang sempurna buat saya.

Walau bagaimanapun, sewaktu saya pulang ke Malaysia bulan lepas, ummi dapat menghidu perhubungan kami. Saya tahu ummi tidak berapa suka anak-anaknya bercinta tetapi saya tidak pernah menjangka ummi akan menghalangnya. Tetapi perhitungan saya silap, amat silap.

Buat pertama kali, adik perempuan saya memberitahu ummi sudah tahu perihal saya dan ummi tidak suka. Saya tidak pernah menganggapnya sesuatu yang serius sehinggalah ummi bercakap secara peribadi dengan saya pada suatu hari. Saya masih ingat lagi kata-kata ummi yang buat saya tak mampu membalas walau sepatah.

"I haven't found any entry in Islam that permit what you are doing right now. I haven't heard from anyone that love before marriage is permitted. But I know there's no relationship between male and female except for what is very important and official between them.
So, may I know what kind of relationship you are having now and I want to hear it from your mouth that it is legal in what you have been learning until now."

"Not a single phrase, nor a word."

"My sweetheart, if you want to build a family, a faithful o­ne, you can never build it o­n what Allah has stated as wrong and proven false by the way Rasulullah has taught us. A happy and blessed family come from Allah, and you don't even have anything to defend it as blessed if the first step you make is by stepping into what He has prohibited. You can't have a happy family if Allah doesn't help you so, and you
must know in every family that stands until their dying day, they have Allah o­n their side. You can't expect Him to help you if you did the wrong step from the very beginning."


Saya tiada kata untuk membalas kerana semuanya benar. Saya tahu kebenaran itu sudah lama dulu, tetapi saya tak mampu untuk melawan kehendak nafsu saya sendiri. Saya akui, saya tertipu dengan apa yang dipanggil cinta tak pernah membawa kita ke mana, andai cinta itu bukan dalam lingkungan yang Allah redha. Tiada cinta yang Allah benarkan kecuali selepas tali perkahwinan mengikatnya. Itulah apa yang telah saya pelajari lama dahulu dan dari semua kitab Fiqh yang saya baca, tiada satu pun yang menghalalkannya. Saya tahu kebenaran ini sudah lama dahulu, tetapi saya tidak kuat untuk menegakkannya. Saya tidak mampu menundukkan kemahuan hati saya. Dan kata-kata ummi memberikan saya kekuatan untuk bangkit dari kesilapan saya selama ini.

Ummi berkata:
"It's not me who want you to make a decision like this, but Allah tells you so."

Saya percaya, itulah yang terbaik buat saya dan dia. Dengan kekuatan itulah saya terangkan kepadanya, dan alhamdulillah dia faham. Amat faham. Walaupun air matanya seakan air sungai yang tidak berhenti mengalir, tetapi dia tahu itulah yang terbaik buat kami. Dia meminta maaf kepada ummi kerana menjalinkan hubungan yang tidak sah dengan saya, tetapi ummi memberi syarat, janganlah bimbang. Andai ada jodoh kamu berdua, insyaAllah, Dia akan temukan kamu dalam keadaan yang jauh lebih baik dari sekarang.

Hidup saya sekarang lebih tenang kerana tiada apa yang menggusarkan hati saya lagi. Hidup saya lebih bercakap kembali tentang agama saya dengan lebih bebas tanpa dihantui oleh perasaan berdosa. Bagi saya, dan dia, inilah saat untuk kami muhasabah kembali diri kami dan kami betulkan kembali segala kesilapan yang telah kami buat. Inilah saat untuk kami menjadi seorang ibu dan ayah yang berakhlak mulia dan berperibadi tinggi. Inilah masanya kami insafi kembali keterlanjuran kami dahulu dan memohon moga-moga Allah sudi memaafkan kami.

Sesungguhnya Ya Allah, aku insan yang sangat lemah. Aku tidak mampu melawan godaan syaitan yang tidak pernah jemu, juga hambatan nafsu yang tidak pernah lesu. Ampunilah aku.

Walau bagaimanapun, perpisahan ini hanya untuk sementara. Saya telah berjanji dengan diri saya sendiri dialah yang akan menjadi teman hidup saya nanti. Sesungguhnya pencarian saya untuk seorang calon isteri telah berakhir. Insan seperti dia hanya satu dalam seribu. Mana mungkin saya melepaskan apa yang amat berharga yang pernah hadir dalam hidup saya. InsyaAllah, sekiranya Allah s.w.t panjangkan umur, sebaik sahaja saya tamatkan pengajian saya di sini, saya akan kembali ke Malaysia dan melamarnya untuk menjadi permasuri di hati saya. InsyaAllah, saya akan setia menunggu saat itu dan saya berusaha sedaya-upaya saya untuk mengekalkan kesetiaaan saya.

"Sekiranya kita telah bertemu dengan seorang insan yang amat mulia sebagai teman hidup kita, janganlah lepaskannya kerana kita tidak tahu bilakah pula kita akan bertemu deangan insan yang seumpamanya."

Siapakah lagi dalam dunia ini yang menjaga adab berjalan antara lelaki dan perempuan sebagaimana yang ditunjukkan oleh Nabi Musa a.s dan puteri Nabi Syuaib a.s beribu-ribu tahun dahulu?

-dr seorang sahabat-

Mafraq, Jordan.

a powerful story

He remembered his grandmother's warning about praying on time: "My son, you shouldn't leave prayer to this late time". His grandmother's age was 70 but whenever she heard the Adhan, she got up like an arrow and performed Salah. He, however could never win over his ego to get up and pray. Whatever he did, his Salah was always the last to be offered and he prayed it quickly to get it in on time.

Thinking of this, he got up and realized that there were only 15 minutes left before Salat-ul Isha. He quickly made Wudhu and performed Salat-ul Maghrib. While making Tasbih, he again remembered his grandmother and was embarrassed by how he had prayed. His grandmother prayed with such tranquility and peace.

He began making Dua and went down to make Sajdah and stayed like that for a while. He had been at school all day and was tired, so tired.

He awoke abruptly to the sound of noise and shouting. He was sweating profusely. He looked around. It was very crowded. Every direction he looked in was filled with people. Some stood frozen looking around, some were running left and right and

some were on their knees with their heads in their hands just waiting.

Pure fear and apprehension filled him as he realized where he was. His heart was about to burst. It was the Day of Judgement. When he was alive, he had heard many things about the questioning on the Day of Judgement, but that seemed so long ago. Could this be something his mind made up? No, the wait and the fear were so great that he could not have imagined this.

The interrogation was still going on. He began moving frantically from people to people to ask if his name had been called. No one could answer him. All of a sudden his name was called and the crowd split into two and made a passageway for him.

Two angels grabbed his arms and led him forward. He walked with unknowing eyes through the crowd. The angels brought him to the center and left him there. His head was bent down and

his whole life was passing in front of his eyes like a movie. He opened his eyes but saw only another world.

The people were all helping others. He saw his father running from one lecture to the other, spending his wealth in the way of Islam. His mother invited guests to their house and one table was being set while the other was being cleared. He pleaded his case, "I too was always on this path. I helped others. I spread the word of Allah. I performed my Salah. I fasted in the month of Ramadan. Whatever Allah ordered us to do, I did. Whatever he ordered us not to do, I did not." He began to cry and think about how much he loved Allah.

He knew that whatever he had done in life would be less than what Allah deserved and his only protector was Allah. He was sweating like never before and was shaking all over. His eyes were fixed on the scale, waiting for the final decision. At last, the decision was made. The two angels with sheets of paper in their hands, turned to the crowd. His legs felt like they were going to collapse. He closed his eyes as they began to read the names of those people who were to enter Jahannam. His name was read first. He fell on his knees and yelled that this couldn't be, "How could I go to Jahannam? I served others all my life, I spread the word of Allah to others". His eyes had become blurry and he was shaking with sweat. The two angels took him by the arms. As his feet dragged, they went through the crowd and advanced toward the blazing flames of Jahannam.

He was yelling and wondered if there was any person who was going to help him. He was yelling of all the good deeds he had done, how he had helped his father, his fasts, prayers, the Qur'an that he read, he was asking if none of them would help him. The Jahannam angels continued to drag him.

They had gotten closer to the Hellfire. He looked back and these were his last pleas. Had not Rasulullah [saw] said, "How clean would a person be who bathes in a river five times a day, so too does the Salah performed five times cleanse someone of their sins"?

He began yelling, "My prayers? my prayers? my prayers." The two angels did not stop, and they came to the edge of the abyss of Jahannam. The flames of the fire were burning his

face. He looked back one last time, but his eyes were dry of hope and he had nothing left in him.

One of the angels pushed him in. He found himself in the air and falling towards the flames. He had just fallen five or six feet when a hand grabbed him by the arm and pulled him back.

He lifted his head and saw an old man with a long white beard. He wiped some dust off himself and asked him, "Who are you?" The old man replied, "I am your prayers". "Why are you so late! I was almost in the Fire! You rescued me at the last minute before I fell in". The old man smiled and shook his

head, "You always performed me at the last minute, did you forget?"

At that instant, he blinked and lifted his head from Sajdah. He was in a sweat. He listened to the voices coming from outside. He heard the adhan for Salat-ul Isha. He got up quickly and went to perform Wudhu.

Pass this on to ur friends and family, and maybe u can help someone open their eyes........ and who knows?? maybe this is a good deed that can help you during the day of judgement....right???

khalifah yang misteri

Pada suatu malam hartawan Abdurrahman bin Auf dipanggil oleh Khalifah Umar bin Khattab untuk diajak pergi ke pinggir kota Madinah.

‘’ Malam ini akan ada serombongan kafilah yang hendak bemalam di pinggir kota, dalam perjalanan pulang,’’ kata Khalifah Umar kepada Abdurrahman bin Auf.

‘’ Lalu maksud anda bagaimana?’’ Tanya Abdurrahman.

‘’ Oleh kerana kafilah itu membawa barang dagangan yang banyak, maka kita ikut bertanggungjawab atas keselamatan barang dari gangguan tangan-tangan usil. Jadi nanti malam kita bersama-sama harus mengawal mereka,’’ sahut Khalifah.

Ajakan itu disambut gembira Abdurrahman. Bahkan dia sudah mempersiapkan jiwa-raganya untuk berjaga semalam suntuk ! Tetapi apa yang terjadi di sana? Ternyata lain dengan yang diduganya semula.

Ketika malam telah mulai sepi, Khalifah Umar bin Khattab berkata padanya. ‘’ Abdurrahman… kau boleh tidur ! Biarlah saya saja yang berjaga-jaga. Nanti kalau ada apa-apa kau saya bangunkan? ‘’

Apakah Abdurrahman lantas berangkat tidur, tidak diceritakan. Tetapi yang terang, Khalifah Umar bin Khattab betul betul menjadi ‘ penjaga malam ‘.
Khalifah Umar bin Khattab memang seorang pemimpin yang suka melakukan perbuatan-perbuatan yang aneh.
Bahkan sering mengerjakan perbuatan yang baik secara diam-diam. Akibatnya, orang yang ditolongnya tidak tahu, bahawa penolongnya adakah khalifah yang mereka cintai.

Suatu malam Auza’iy pernah ‘memergoki’ Khalifah Umar masuk rumah seseorang. Ketika keesokan harinya dia datang ke rumah itu, ternyata penghuninya seorang janda tua yang buta dan sedang menderita sakit. Janda itu mengatakan, bahawa tiap malam ada orang yang datang ke rumahnya untuk mengirim makanan dan ubat-ubatan. Tetapi siapakah nama orang itu, janda tua itu tidak tahu ! Padahal orang yang tiap malam datang ke rumahnya, adalah khalifah yang mereka kagumi.

Suatu malam Khalifah Umar berjalan-jalan di pinggir kota. Tiba-tiba didengarnya rintihan seorang wanita dari dalam sebuah khemah yang kumal. Ternyata yang merintih itu seorang wanita yang mahu melahirkan . Di sampingnya, duduk suaminya yang kebingungan. Maka pulanglah Khalifah ke rumahnya untuk membawa isterinya, Ummu Kalsum untuk menolong wanita yang akan melahirkan anak itu.

Tetapi wanita yang ditolongnya itu pun tidak tahu … bahawa orang yang menolongnya dirinya adalah Khalifah Umar, Amirul Mukminin yang mereka cintai...

aku seorang guru..

Semenjak aku bekerja sebagai guru ni. Aku cukup risau mendengar khabar angin yang bertiup sepoi-sepoi bahasa tu. Jawatan ni pun hanya sebagai guru sandaran sahaja setelah aku beberapa bulan menjadi penganggur terhormat dengan memegang ijazah dari UPM. Itu pun setelah aku dah mula jenuh mendengar leteran abah dan rungut ibu kerana mereka kata aku ni memilih kerja sangat.

Dah tak tahan rasanya, nasib baiklah aku ada kawan lama yang bekerja di Pejabat Pendidikan Daerah yang membuka tawaran pengambilan guru sandaran. Jadi, peluang untuk mengelakkan diri dari terus menjadi bahan rungutan ini tidak kulepaskan begitu sahaja.
Sememangnya aku tahu bahawa diri aku ni tidak layak untuk menjadi pendidik, tapi apa boleh buat.

Sudah keadaan yang memaksa aku untuk melupakan ketidakbolehanku itu. Borang permohonan aku isi ala kadar aje, tidak mengharapkan sangat. Tapi bila dah rezeki itu telah ditentukan milik kita, dan ia memang benar akan menjadi milik kita tanpa kita sangka sekalipun. Aku menerima surat jawapan dengan perasaan berbelah bagi juga sebab aku takut nanti aku tak mampu untuk menunaikan tanggungjawab yang telah diamanahkan atas bahuku ini. Namun, abah dan ibu mula tersenyum mendapat berita itu kerana mereka tahu anak gadis mereka ini memang boleh memikul amanah itu.

“Ah, mereka tidak tahu keadaan aku sebenarnya!” Bisik hati kecilku. Walau bagaimanapun, sekurang-kurangnya surat jawapan itu akan menyelamatkan aku untuk seketika. Namun aku sendiri pun tidak tahu setakat mana ia mampu menyelamatkan aku. Aku ada mendengar desas–desus dari adik-adik yang mengatakan bahawa ada orang telah datang merisik aku. Terkejut gila aku dibuatnya. Aku masih belum memikirkan lagi untuk menjadi isteri, suri rumah tangga apatah lagi ibu. Lagipun aku masih belum bersedia untuk memasuki alam rumah tangga. Harap-harap, tawaran guru ini akan membantu menyelamatkan aku yang dalam keadaan genting dan kritikal ini.

Sekurang-kurangnya aku ada alasan untuk menolak pinangan sesiapa sahaja dengan mengatakan bahawa aku ingin menumpukan perhatian pada kerjaku terlebih dahulu untuk mencari pengalaman. Lagipun aku tahu perangai abah dan ibu yang tidak pernah memaksa aku untuk memenuhi kehendak mereka. Cuma harapan mereka itu yang akan membuatkan aku jadi serba salah untuk tidak memenuhinya.

“Bila angah nak lapor diri?” Tanya abah sewaktu kami sedang makan malam. Makan malam bersama-sama merupakan perkara penting dalam keluargaku. Sebab itulah hubungan kami bertambah mesra.
“Minggu depan bah.”. aku telah diarahkan untuk melaporkan diri di Se
kolah Menengah Agama Falahiah di Pasir Pekan, Kelantan. Itulah sebuah negeri yang tidak pernah kujejaki sepanjang hidupku hingga kini. Namun aku akan memecahkan rekod itu minggu depan.

“Angah nak abah hantarkan ke?” Memang aku dah jangka abah akan menawarkan pertolongannya itu. Abah tidak pernah membiarkan aku kesusahan keseorangan tanpa bantuannya sampailah aku dah besar panjang dan keluar universiti begini. Abah seorang yang cukup penyayang pada kami anak-anaknya. Dia selalu memanjakan kami dalam lingkungan batas-batas tertentu.

“Tak payahlah bah. Angah pergi naik bas saja dengan kawan. Kawan angah pun kena mengajar kat situ juga.” Jelas ku. Aku tak nak menyusahkan abah. Jauh juga perjalanan dari Selayang ni ke sana. Kata orang, dalam tujuh atau lapan jam juga. Aku dah banyak menyusahkan abah. Sekarang aku mahu berdikari sendiri dan aku mahu tunjuk dan buktikan pada abah yang anak gadisnya ini mampu untuk melakukan sesuatu dengan usaha sendiri.

Banyak perkara yang terpaksa aku fikirkan. Terutamanya tentang keadaan tempat mengajarku nanti. Negeri yang tidak pernah kujejaki bakal menyambut kedatanganku sebagai musafir yang tidak tahu bila akan kembali ke tempat asalnya. Namun kupercaya bahawa ia pasti bangga menyambutku sebagai tetamunya.

“Jaga diri elok-elok kat tempat orang tu. Nanti jangan lupa selalu hubungi ibu dan abah kat sini.Pesan ibu sewaktu aku nak bertolak ke Kelantan. Keluarga menghantar aku ke Hentian Putra. “Jangan lupa bawa balik ‘awe’ Kelantan tau!” Usik adik lelakiku. Adik aku seorang ni suka sangat menyakat aku. Kalau cakap dengannya, ada saja hal-hal yang membuatkan kami tidak bersependapat. Namun aku tahu, sejauh mana kasih sayang adikku itu terhadap aku.

“Jaga perangai elok-elok. Tunjukkan budi pekerti yang mulia, barulah semua orang sayang pada kita walau di mana sahaja kita berada.” Itu pesan terakhir abah sebelum aku melangkah menaiki bas. Aku cium tangan abah dan kupeluk ibu. Semoga berkat doa restu mereka. Aku bisa menghadapi dan mendepangi arus kehidupan ini. Kasih dan sayang mu abah dan ibu akan kubawa ke mana-mana sahaja selama mana kaki ini terus melangkah.

“Aah.”. aku menyeka air mata sewaktu melihat lambaian abah, ibu dan adik-adik tatkala bas yang kunaiki mula meninggalkan Perhentian Putra itu. Sedih juga aku untuk berpisah dengan mereka. Keluarga yang aku cukup bahagia dengan kasih sayang yang tercurah.

“Kita nak tinggal kat mana nanti?” Tanyaku pada Nadia, kawan yang senasib denganku. “Tak payah risau. Pak long aku dah janji nak uruskannya untuk kita.” Nasib baik juga si Nadia tu ada bapa saudara kat sana. Kalau tak, macam manalah nasib kami nanti.

“Pagi nanti, dia yang akan datang jemput kita kat stesyen bas.” Sambung Nadia lagi. Lega hatiku bila mendengarnya. Risau juga aku kalau tak ada orang yang ambil nanti sebab kami akan sampai di Kota Bharu sebelum subuh. Pagi-pagi begitu kat manalah kami nak gagau. Aku pun tak terfikir akan dihantar mengajar di Kelantan tu.

Bas yang kami naiki tiba di stesyen bas Kota Bharu sewaktu azan subuh berkumandang dari menara Masjid Muhammadi, sebuah masjid yang tertua di negeri itu.
Kedatangan ku ini disambut dengan laungan kalimah suci membesarkan Tuhan. “Semoga ia menjadi suatu petanda yang baik buat ku.” Bisik hati kecilku. Bandar ini sudah mula bangkit dari lena manusia. Orang ramai yang baru tiba, berduyun-duyun menuju ke masjid yang berdekatan.

“Jom, pak long aku dah tunggu tu!” Ajakan Nadia itu membuatkan bicara hatiku terputus di tengah jalan. Aku membuntuti langkahnya yang agak kalut sambil memikul sebuah beg pakaian. Aku hanya membawa barang-barang keperluanku sahaja, yang lain nanti boleh usahakan bila dah dapat tempat tinggal tetap. Aku harap, tempat tinggalku nanti tidaklah jauh sangat dari tempat aku mengajar kerana ia akan memudahkan aku untuk berulang-alik.

“Buat sementara waktu ni, Nadia dan Idah tinggal kat rumah pak long dulu. Lagi pun bukanlah jauh sangat sekolah tu dengan rumah pak long.” Pengkhabaran beginilah yang agak memberatkan hatiku. Selagi boleh. Aku tak nak menyusahkan sesiapa. Aku lebih senang mempunyai rumah sendiri dari menumpang rumah orang lain. Apatah lagi tuan rumah yang kita tumpangi itu tidak mempunyai apa-apa pertalian pun dengan kita. Tapi apa boleh buat, terpaksalah aku bersabar buat seketika ini.

Di Kelantan, sekolahnya bermula pada hari Ahad. Cuti hujung minggu pada hari Jumaat dan Sabtu. Hari ni baru hari Jumaat, jadi lusa baru aku akan melaporkan diri di sekolah agama tu nanti. Aku pun masih terfikir-fikir tentang subjek apa yang akan ku ajar nanti. Risau juga aku takut-takut nanti subjek yang terlalu sukar untuk aku. Lagi pun aku manalah ada pengalaman menjadi guru ni. Ni boleh dikira bidang terjunlah.

Suasana pagi di Kampung Laut ini cukup tenang. Kampung yang berada di atas tebing Sungai Kelantan ini kedudukannya bersetentangan dengan Bandar Kota Bharu.
Kita akan dapat melihat bandar itu dari tebing sungai Kampung Laut ini. Rumah bapa saudara Nadia ini agak besar juga. Boleh dikatakan kebanyakan rumah-rumah di kampung ini bertiang tinggi. Ini bagi mengelakkan daripada ditenggelami air apabila banjir melanda. Boleh dikatakan bapa saudaranya itu dari kalangan orang berada juga.

aku agak kepenatan kerana perjalanan yang memakan masa tujuh jam semalam. Aku tidak sedar bila aku terlena di bilik rumah pak long Nadia tu selepas solat subuh tadi. Aku tersedar dari lena apabila telingaku disapa suara yang sayup-sayup kedengaran.
“Baru bangun tuan puteri?” Soal Nadia apabila melihat aku menggeliat kemalasan. Dia baru aje selesai mandi.

“Letih sangat naik bas semalam.” Alasanku. Segan jug
a aku bila memikirkan anak dara yang bangun tengah hari kat rumah orang ni. Nanti dikata orang anak dara pemalas pulak.

“Suara apa tu?” Soal aku pada Nadia. “Itu suara orang memberi kuliyah pagi Jumaat di masjid. kat sini, setiap hari Jumaat ada kuliyah agama di masjid.” Beritahu dia. Baru aku perasan yang rumah pak long Nadia ni tidaklah jauh sangat jaraknya dari masjid. Masjid utama Kampung Laut yang didirikan sebagai mengganti Masjid Lama Kampung Laut yang telah dipindahkan ke Nilam Puri.

“Kenapa?” S
oal Nadia agak kehairanan bila memerhatikan aku sedang meneliti suara penceramah yang kedengaran melalui corong pembesar suara masjid itu. “ Tak ada apa-apa. Saja tanya.” Sebenarnya suara itu telah mengingatkan aku pada seseorang. Orang yang tidak pernah ku tatapi dan tengok wajahnya. Namun aku mengenali suaranya. Suara yang suatu ketika dahulu selalu mengganggu kelancaran dan kelicahan kehidupan kampusku tetapi telah bertukar menjadi satu suara yang selalu kurindu dan ku tunggu-tunggu untuk mendengarnya.

“Helo! Boleh saya cakap dengan ustazah Faridah?” Tanya satu suara di hujung talian sana. “Ustazah Faridah tak ada, tapi Faridah aje adalah!”. aku agak kehairanan kerana tak pernah seorang lelaki menelefon aku menanyakan nama Ustazah Faridah. “Ah, samalah tu.” Jawab suara itu.
“Saya bukan ustazah, awak jangan nak memandai. Siapa awak ni?!” Geram rasanya apabila ada orang cuba untuk mempermainkan aku.
“Tak apalah ustazah. Nanti lain kali saya telefon lagi. "
Assalamualaikum…” Talian dimatikan begitu sahaja tanpa sempat aku berbuat sesuatu. “Aaagh…” Keluh hatiku. Geram. Ada orang cuba untuk mempermainkan aku dengan panggilan ‘ustazah’ tu. Pada hal aku tak layak langsung untuk memakai gelaranku. Dari segi pakaian ku yang lebih ku suka mengenakan seluar panjang atau jeans dipadankan dengan t-shirt lengan panjang dan skaf saja. Lagipun aku suka dengan gaya begitu yang membolehkan aku bergerak lincah. Takkan orang macam aku ni dipanggil ustazah. Tak padan langsung. Ni dah sah orang cuba untuk mempermain-mainkan aku.

Selang beberapa hari, suara itu menelefonku lagi. Boleh dikatakan semua gerak-geriku dia tahu. Semacam aku diperhatikan mata-mata gelap dari Bukit Aman lah pulak. Dah puas aku tanya siapakah tuan empunya suara, namun banyak dalihnya yang membuatkan aku tidak pernah tahu siapakah dia. Banyak hal urusan peribadiku cuba dicampurinya. Dari perjalanan hidup harianku sehinggalah cara aku berurusan dan berpersatuan termasuklah cara aku berpakaian.

“Siapa awak yang nak cuba campuri urusan peribadi saya hah?!”. aku mula hilang kesabaran bila dah semakin melampau langkahnya itu. Namun dia masih mampu untuk bertenang dengan sikapku yang mula panas itu.

“Memang saya tahu siapa saya. Saya bukan abang apatah lagi suami ustazah. Tapi tak salah bukan kalau saya sebagai seorang sahabat cuba untuk menasihati dan memberikan pendapat?” “Jangan panggil saya ustazah! Saya dah meluat dengan awak!” “Saya tidak pernah memaksa ustazah memenuhi ataupun mengikuti nasihat dan pendapat saya. Pilihan keputusan terletak sepenuhnya di tangan ustazah. Saya tiada hak walaupun sedikit untuk menentukannya.” Dia tidak menghiraukan amaran dan kemarahanku itu. Dia tetap memanggilku ustazah.

“Ahh, pergi jahanam dengan ustazah awak tu!” Semburan kemarahanku itu membuatkan aku mematikan talian telefon bimbitku. Selepas kejadian itu. Aku tidak lagi menerima panggilan dari suara misteri itu. Sekurang-kurangnya aku berasa sedikit aman sehinggalah pada hari ulang tahun kelahiran ku yang ke 24. Satu bungkusan telah dikirimkan ke alamat rumahku di Selayang. Aku agak berdebar bila menerima hadiah yang tidak tercatat siapakah nama pengirimnya. Apabila kubuka balutan kotak hadiah itu, kudapati di dalamnya terdapat sepasang baju kurung bewarna krim, sehelai busana bewarna meron serta dua helai telekong yang berwarna pink dan putih. Aku terkejut dengan hadiah itu. Terdapat dalamnya juga sekeping nota ringkas.

"Assalamualaikum
……"
Selamat ulang tahun ke 24 buat Ustazah Faridah binti Mansur. Saya doakan semoga Allah memanjangkan usia ustazah dengan ketaatan ibadah serta memurahkan rezeki u
stazah dengan yang halal. Amin…..
Pemanggil misteri.


Bagaimana dia boleh tahu tarikh lahir aku. Macam mana pula di memperolehi alamat rumahku ini. Orang ini memang gila agaknya. Aku membelek-belek baju dan telekong yang dihadiahkannya kepadaku itu.
“Cantik juga. Macam dia tahu pulak tentang warna kesukaan ku.” Bisik hati ku. Tapi macam mana aku nak memakainya. Baju kurung tu tak kisahlah sebab aku biasa juga memakainya. Tapi bagaimana dengan busana dan telekong ni? Nanti apa kata keluarga dan kawan-kawanku. Aah..kacau-kacau.

“Aii.. termenung saja! Terkenangkan orang jauh ke?” Usikan mak cik Gayah, mak long Nadia itu membuatkan lamunanku terganggu.
“Takdelah makcik.” “Sambil masak pun boleh termenung, nanti gulai yang kat atas dapur tu boleh hangit tau
.” Sampuk Nadia pula.
“Mana ada, kamu ni Nadia kalau tak sakat aku tak senang duduk agaknya.” Mak cik Gayah dan Nadia tersengih mendengar jawapanku itu.

Malam itu kami semua berjemaah di masjid. Kata mak cik Gayah, malam ni ada ustaz jemputan yang akan
memberikan ceramah tentang Maulidur Rasul. Kami agak terlewat ke masjid kerana sibuk di dapur. Jadi terpaksalah kami memenuhi saf belakang. Agak ramai juga kaum wanita yang datang ke masjid malam ni. Aku bertakbir ratul ihram pun sewaktu imam dah mula baca surah fatihah. Sekali lagi aku terpana bila mendengar suara imam membacakan fatihah. Aku rasa seperti pernah mendengar suara itu tapi di mana yak. Aku bertakbir menjadi makmumnya. Terlalu asyik mendengar bacaan imam. Alunannya yang mengikut lagu yang biasa dibacakan oleh Saad al-Ghamidi dan Sudais. Aku rasakan bahawa solat maghribku malam itu terlalu pendek dan cepat.

Semasa ceramah maulidur rasul. Aku tidak dapat memberikan sepenuh tumpuan dan perhatian kerana suara penceramah itu benar-benar mengganggu ingatanku.
“Ustazah nampak sopan bila berbaju kurung begitu dan lebih bersopan lagi jika berbusana. Jangan hiraukan apa yang orang kata, tapi ambil hirau tentang apa yang Tuhan kata”. aku terima mesej itu melalui telefon bimbitku. Memang ku tahu siapa pengirimnya. Hari itu tiba-tiba saja aku terlintas untuk memakai baju kurung yang dihadiahkan pemanggil misteri itu sewaktu aku menghadiri kuliyah. Cuma telekong saja yang ku ganti dengan skaf biasa. Agak kekok juga sebab dah lama aku tak pakai baju kurung. Itu pun ramai kawan yang tengok pelik saja pada aku. Pelbagai soalan yang mereka Tanya, tapi aku buat tak tahu saja. Malas nak layan.

Apa salah baju tu, lagi pun orang yang bagi bukannya aku yang beli.
“Saya harap ustazah pakai begitu bukan kerana saya, tapi ikhlas kerana Allah.” Suara itu mengingatkan aku. “Awak ingat awak tu siapa? Saya pakai tu kerana saya nak pakailah, tak ada kaitan langsung pun dengan awak.” Tegas aku pada dia. “Baguslah macam tu. Saya harap ustazah akan terus begini.” Itulah suaranya yang terakhir aku dengar. Selepas itu aku tidak lagi menerima sebarang panggilan misteri seperti itu sehinggalah sekarang. Cuma kadang-kadang sahaja aku menerima surat atapun bungkusan yang tidak tercatat nama pengirim dan alamatnya. Dan aku pasti, itu adalah ‘dia’. Ke mana sahaja aku pergi, pasti dia tahu.

Seperti dia sentiasa mengekori dan memerhatikan aku. Sebelum aku bertolak ke Kelantan pun aku ada menerima satu bungkusan yang bersetemkan luar negeri. Di dalamnya aku dapati terdapat dua buah buku
yang bertajuk Fitnah Wanita dan Bakal Wanita Syurga. Juga terdapat sekeping nota ringkas bersama bungkusan itu.

"Assalamualaikum... ."
Di harapkan ustazah sudi menerima hadiah dari saya ini sebagai ucapan tahniah saya kerana ustazah telah terpilih untuk menjadi guru sandaran. Semoga ada manfaatnya buku ini kepada ustazah.
Pemanggil misteri.


aku tidak lagi menaruh sebarang kebencian kepada pemanggil itu. Sebarang hadiah atau pemberian darinya aku terima dengan rela hati. Sekurang-kurangnya aku tidak payah membeli untuk itu. Teringin juga aku untuk bertemu dan mengenali siapakah sebenarnya
‘pemanggil misteri’ itu. Misteri sangatkah dia sampai dia tidak mahu memperkenalkan dirinya kepadaku? Namun aku sangat berharap agar suatu hari nanti aku akan menemuinya.

“Masa kat masjid lagi mak cik lihat Idah asyik termenung. Kenapa ni?” Tanya orang tua itu sewaktu kami berjalan pulang dari masjid
“Tak ada apa-apa lah ma
k cik. Badan ni yang masih penat lagi ni.” Alasanku padanya. “Yealah tu. Macamlah aku tak tahu. Nak sorok kat siapa hah?!” Nadia mula nak buka ‘gelanggang’ denganku.
“Kalau ada pun. Aku ingat kat famili aku sajalah.” Seboleh-bolehnya aku tidak mahu orang
lain tahu keadaan sebenarnya.

“Habis tu si pemanggil misteri tu siapa?” Rupa-rupanya Nadia sudah mengetahui tentang hal itu. Tapi dari mana dia tahu. Aku rasa. Aku tidak pernah memberitahu sesiapa pun tentang ‘pemanggil misteri’ itu.
Semenjak aku menjaw
at jawatan guru sandaran ni, jadual harianku telah berubah. Banyak perkara yang perlu aku lakukan sebagai persediaan untuk mengajar. Aku tak sangka apabila telah diarahkan oleh pihak pentadbir sekolah untuk mengajar subjek Tasawur Islam untuk tingkatan 4 dan Pendidikan Islam untuk tingkatan 3. Pada mulanya aku minta ditukar untuk mata pelajaran lain tapi aku tidak ada pilihan lain. Maka aku terpaksa menerima panggilan ‘ustazah’ itu. Ah Kenapa ini boleh berlaku. Sebelum ini, panggilan itu agak terlalu janggal untuk aku. Tapi setelah beberapa lama aku mengajar. Aku sudah lali dan mungkin boleh juga dikatakan agak serasi denganku.

Namun aku terpaksa melakukan banyak perubahan terhadap penampilan dan peribadiku agar ia benar-benar secocok dengan panggilan itu. Aku tidak lagi selincah di kampus dulu. Keadaan berpakaian pun sudah berubah. Seluar, jeans dan t-shirt hanya kat rumah dan apabila bersama keluarga sahaja. Keluar aje dari rumah.
Aku akan mengenakan baju kurung ataupun busana. Skaf telah ku ganti dengan tudung. Pada mulanya aku agak rimas berpakaian begitu, namun keadaan yang telah memaksa aku untuk berbuat demikian. Aku benar-benar berubah. Aku bukan lagi seperti Faridah yang dikenali sewaktu di kampus dulu. Oleh itu ramai teman-teman rapatku yang agak terkejut dengan perubahanku ini. Tidak kurang pula yang bersyukur pada Tuhan kerana telah membukakan pintu hidayahnya kepadaku.

aku juga telah memaklumkan pada keluargaku, mereka tidak membantah. Malah mereka juga turut bersyukur. Cuma mereka harap aku melakukannnya atas dasar kesedaran dan keikhlasan serta istiqamah kerana Tuhan. Bukannya sekadar hangat-hangat tahi kerbau. Di antara orang yang paling gembira dengan perubahanku itu ialah
‘pemanggil misteri’ itu.

“Syukur dan syabas saya ucapkan kerana ust
azah telah berubah.” Ucapnya melalui telefon setelah sekian lama dia tidak menghubungiku melalui telefon. “Terima kasih saya ucapkan pada awak kerana telah banyak mengubah peribadi saya.” Ucapku ikhlas. “Itu tugas saya sebagai seorang sahabat.” “Tapi bilakah saya dapat mengenali siapakah awak yang sebenarnya?”. aku sememang dah tidak sabar untuk mengetahui siapakah dirinya yang sebenar. “InsyaAllah, bila sampai ketentuanNya nanti tetap ustazah akan tahu juga siapa saya.” Itulah jawapan yang selalu aku perolehi darinya apabila soalan demikian aku kemukakan.

“Dah lama awak tak hubungi saya, ke mana awak pergi?” Tanyaku.
“Saya keluar negeri, sambung pengajian.” Patutlah surat dan bungkusan darinya dulu bersetemkan setem Australia. Itulah pertama kali aku den
gar suaranya setelah kira-kira lebih dua tahun dia tidak menelefonku. Hanya surat yang menjadi perantaraan. Itupun suratnya untuk aku sahaja. Aku pula tidak pernah mengirimkan sepucuk surat pun kepadanya kerana aku tidak tahu kepada siapa patut aku tujukan dan alamatnya pun entah di mana. Dia tidak pernah memberikannya kepadaku.

Malam itu, ibu ada menelefonku. Dia tanya sama ada aku balik atau tidak pada cuti tahun baru cina nanti. Aku kata, kalau ikutkan perancanganku memang nak balik. Tapi tak tahulah agaknya-agaknya ada hal pulak nanti.
“Kenapa?” Soalku pada ibu. “Ada orang nak datang tengok angah.” Jawapan ringkas ibu itu telah cukup untuk membuatkan aku terkejut besar. Aku memang tak sangka. Jantung ku berdegup kencang. “Angah belum bersedia lagi untuk berumah tangga bu.”. aku masih mahu bebas dari ikatan itu. “Ibu tak paksa angah untuk terima, tapi baliklah dulu. Kita tengok, lepas itu angah yang buat keputusannya nanti. Ibu dan abah terima saja.” Pujuk ibu. Terasa sedikit kekuatan dengan jaminan yang diberikan ibu itu.

Kalau boleh. Aku ingin menentukan sendiri pasangan hidupku tanpa sebarang paksaan dari kedua orang tuaku. Semenjak dari pengkhabaran ibu itu. Aku begitu berdebar untuk menunggu cuti tahun baru cina yang hanya tinggal seminggu sahaja lagi. Aku lebih banyak termenung memikirkan hal itu. Setiap kali aku balik dari mengajar ke rumah sewa aku di Kampung Kota Kubang Labu. Aku lebih suka bersendirian dalam bilik. Nadia merasa pelik dengan perubahan mendadak ku itu. Aku menceritakan sebabnya kepada Nadia.

“Bersabarlah. Apa nak dirisaukan, ibu engkau dah beri jaminan bahawa dia tak memaksa. Jadi pilihannya di tangan engkau sendiri.” Nasihat Nadia. “aku risau sebab aku takut untuk mengingkari harapan mereka.”
Mulai hari itu juga. Aku memohon p
etunjuk Allah dalam menentukan dan memberikan kekuatan kepadaku.

Ya Allah, sekiranya Engkau telah menentukan jodohku, maka aku harap Engkau mengurniakan aku seorang suami yang soleh. Mampu membimbing aku dan bakal zuriat yang akan lahir dari rahimku ini.
Ya Allah, bantulah aku dalam menentukan perkara ini. Janganlah Engkau biarkan diriku sendiri menentukan perjalanan hidupku walau hanya sekelip mata. Aku memohon dariMu kebaikan yang berpanjangan dan bahagia yang berkekalan.

Kepulanganku ke rumah di Selayang disambut gembira dengan seisi keluarga. Semuanya berkumpul, tambah-tambah lagi kerana cuti tahun baru cina. Lagipun mereka semua ingin tahu siapakah gerangan yang mahu datang itu. Abang long, abang chik semua balik. Kakak ipar dan anak buah juga tidak ketinggalan untuk turut serta.

“Tak lama lagi, Man dapat abang iparlah. Ibu kan!” Itu suara adikku si Rahman. “Ish kamu ni Man. Tak boleh ke kalau tak usik angah tu.” Ibu cuba membelaku. Aku hanya melayan perasaan. Perasaanku berbelah bagi. Entah apa keputusan yang akan kuberikan kepada abah dan ibu nanti. “Ibu tak memaksa angah untuk menerimanya. Angah yang akan menentukannya sendiri.” Ibu mengulangi jaminannya padaku sewaktu dia melihatku murung.

“Along terima siapa sahaja yang menjadi pilihan angah
untuk jadi suami. Suami angah adalah adik ipar along juga.” Kata along sambil menepuk-nepuk bahuku. “Acik pun macam tu juga. Kami nak tengok angah bahagia. Itu sudah memadai bagi kami.” Sokong Acik pula. Sekarang aku benar-benar yakin bahawa aku memiliki sepenuh kuasa untuk menentukannya. Semua keluarga menyokong aku. Sekurang-kurangnya ia membuatkan aku berasa lega.

Semua ahli keluargaku sibuk untuk menyediakan jamuan keluarga sempena kedatangan tetamu yang begitu mendebarkan hatiku itu. Mengikut kata ibu, mereka akan datang lepas maghrib dan akan makan malam bersama-sama keluargaku. Apabila masuk waktu maghrib, semua ahli keluargaku berjemaah di rumah. Abah yang jadi imam dan along yang jadi bilal. Cuma aku saja yang terkecuali sebab uzur. Jadi kenalah aku tengok-tengokkan Ain, anak saudaraku yang baru berumur 9 bulan. Makin tak keruan aje rasanya jiwa ini. Tapi bila memikirkan yang semua ahli keluarga menyebelahiku. Aku rasa bersemangat. Aku begitu gembira bila berpeluang untuk berkumpul dengan seluruh ahli keluargaku ini. Aku sangat bangga mempunyai keluarga yang sebahagia ini. Dan doaku semoga keluarga yang akan kubina nanti sekurang-kurangnya akan menjadi seperti keluargaku ini.

Sewaktu, azan Isyak berkumandang dari Masjid Selayang kedengaran ada orang memberi salam di luar rumah. Aku bangkit bergegas ke bilikku. Aku malu, takut dan segan. Semua jenis perasaan mula berkumpul di hati ini. Badanku terasa seram sejuk dan panas serta-merta. Aku tak tahu apa yang mereka kat luar tu bincangkan. Cuma terdengar suara hilai ketawa sahaja. Selang beberapa minit. Aku terdengar suara orang bertakbir.

“Seperti suara yang pernah kudengar.” Bisik hatiku sendirian. Kemudian, diikuti dengan bacaan surah al-Fatihah yang dialunkan mengikut bacaan Saad al-Ghamidi. “Ya Allah! Siapakah dia?” Hatiku semakin kuat tertanya-tanya siapakah sebenarnya empunya suara. Seperti suatu suara yang selalu kudengar. Seperti suara yang sering menasihatiku itu.

“Ya Allah. Aku bermohon kepadaMu dengan kebaikan. Kurniakanlah aku suatu kur
niaan di sisiMu yang boleh membahagiakan seluruh kehidupanku. Tetapkanlah kasih sayang di hati ini agar tidak goyah dalam mengharungi arus deras ini.” “Ya Allah! Kiranya dia adalah utusan dan ketentuanMu buatku. Aku harap Engkau permudahkanlah dan bukakanlah hatiku ini untuk menerimanya dengan ikhlas. Jika ia ditakdirkan bukan milikku, maka jauhkanlah hatiku darinya. Hilangkanlah bayangan wajahnya dari tatapan dan pandanganku agar hatiku bisa tabah menerimanya.” “Ya Allah! Sesungguhnya aku redha dengan segala ketentuanMu buatku. Amin….”

Ketukan pintu bilikku membuatkan aku terkejut. Ibu masuk merapatiku.
“Marilah keluar! Mereka mahu kenal angah.” Bisik ibu perlahan. Aku merenung ibu dengan pandangan yang berkaca-kaca. Ibu mengangguk lembut, terseyum meman
dangku sambil jari telunjuknya mengesat air mataku yang mengalir perlahan. “Sudahlah. Ibu ada bersama angah. Usah takut.” Pujuk ibu lagi. Aku bangun perlahan seperti tidak bermaya. Mengenakan jubah yang baru siap aku tempah dan telekong pink. Inilah kali pertama aku mengenakan jubah. Aku lap mukaku dengan tisu untuk menghilangkan sisa-sisa air mata.

aku memandang ibu. Ibu mengangguk dan memimpin tanganku keluar untuk menemui tetamu yang mungkin istimewa. Aku menundukkan mukaku. Tidak berani untuk melihat siapakah tetamu itu. Ibu memimpin aku ke ruang tempat kami sentiasa solat. Rupa-rupanya mereka semua menunggu aku di situ. Aku duduk bersimpuh di sisi ibu dan diapit oleh kak long serta kak chik. Tetamu itu duduk bersetentangan denganku. Pada agakkanku, dia sedang memerhatikan gerak-geriku. Aku tidak berani untuk mengangkat mukaku untuk memandangnya.

“Pak cik! Izinkan saya untuk bercakap dengan Faridah sekejap.” Tetamu itu memohon keizinan dari abah. “Silakan.” Keizinan yang diberikan abah itu membuatkan aku berdebar-debar. Tetamu itu merapatiku dan kini dia betul-betul bersila di hadapanku. Aku dapat mendengar bunyi nafasnya dan dapat menciumi bau minyak athar yang dipakainya.

“Ya Allah! Tenangkanlah hatiku dan tolonglah aku di saat ini. Ya Allah. Aku benar-benar bermohon kepadamu.” Doa hatiku. “Ustazah Faridah! Jika ini dinamakan takdir, maka telah tiba masanya ustazah mengenali saya.” Betulkah suara itu yang aku dengar. Aku belum mampu untuk memandang wajahnya. Tapi suara itu membuatkan hatiku bergetar.
“Dulu saya bukanlah abang apatah lagi suami ustazah, tapi sekarang saya datang untuk mengambil ustazah sebagai suri hidup saya.”
“Ya Allah! Benarkah seperti apa yang aku dengar sekarang ini? Ini benar-benar suara dia. Aku yakin, memang inilah suara dia
.” Bisik hatiku.

‘Sudikah ustazah membukakan pintu hati ustazah untuk menerima cinta dan kasih sayang saya kerana Allah?” Soalnya perlahan. Perlahan-lahan aku mendongak mukaku dan pandangan kami bertembung. “Haikal!” Bisikku perlahan. Dia tersenyum meman
dangku. Air mataku mula mengalir. “Ya Allah! Benarlah janjimu terhadapku. Aku menerima kurniaanmu ini dengan penuh redhaku.”

aku berpaling pada ibu. Ibu memandangku dengan penuh kasih sayang. Aku memeluknya erat. “Ibu, angah dah bersedia untuk jadi seora
ng isteri bu!” Bisikku perlahan. Ibu memelukku erat tanda akur dengan kehendak dan keputusanku.